Kalian tahu wiwitan? Kalau kalian tinggal di desa, yang masih banyak sawahnya, mungkin kalian tahu apa itu wiwitan. Tapi kalau kalian hidup di tengah kota besar, kemungkinan besar kalian nggak tahu. Wiwitan itu salah satu wujud penghormatan terhadap Dewi Sri, dewi kesuburan.
Ceritanya Dewi Sri begini: waktu itu di kahyangan, sedang diadakan pembangunan gedung DPR. Becanda, bukan gedung DPR, tapi istana. Tiap penghuni kahyangan diwajibkan membantu jadi kuli bangunan. Tapi Antaboga, sang dewa ular, nggak bisa ikut membantu. Nggak ada tangan, nggak ada kaki, mana bisa bantu? Lalu atas saran Batara Narada, Anta mempersembahkan tiga telur mustika yang keluar dari matanya. Tapi karena diganggu oleh gagak, dua telur pecah. Tinggal satu, dan akhirnya dirawat Batara Guru sampai menetas. Tapi ternyata yang keluar adalah seorang bayi perempuan. Bayi itu dinamai Nyi Pohaci Sri.
Dewi Sri ini berubah menjadi gadis yang cantik.Saking cantiknya, Batara Guru yang adalah ayah angkatnya naksir sendiri. Untuk menghindar konflik di kahyangan, Dewi Sri dibunuh. Tapi karena kesuciannya, makam Dewi Sri ditumbuhi berbagai macam tanaman hijau.
Baru tahu, kan? Nah, wiwitan itu upacara makan bersama di tengah sawah sebelum masa tanam, biasanya dilakukan oleh petani tradisional.
Percaya nggak, kalau aku bilang aku sempat merasakan tradisi itu? Mungkin beberapa dari kalian pernah merasakan juga. Hmm, kalau diingat, rasanya kangeeen banget. Kangen mendengar suara ketokan kasar di pintu pada sore hari, disertai teriakan, "Ayo, mbak! Ada wiwitan!" Lalu menghambur keluar dan bersama-sama makan di tengah sawah. Kangen dengan rasa geli dari rumput yang menggelitik telapak kaki saat lagi asyik-asyiknya makan. Lauknya memang seadanya: nasi, gudangan, parutan kelapa, dan telur rebus, tapi pengalamannya benar-benar tak ternilai.
Mungkin itu cerita sepuluh tahun yang lalu, karena sekarang, daerah rumahku sudah dibangun rumah-rumah, tidak banyak sawah lagi. Tidak ada lagi anak-anak yang berlarian ke sawah, dan berteriak "Bancakan!" Sayang sekali...
Tapi aku merasa beruntung sekali, bisa merasakan tradisi yang sekarang mungkin sudah langka itu walau sebentar. Aku tidak sabar, rasanya ingin menceritakan ke anak cucu tentang pengalaman ini. Bahwa dulu budaya kita masih sangat murni, memberi kesan yang mendalam dalam hati seorang anak kecil yang bahkan akan dibawa hingga tumbuh dewasa.
Itu cerita warisanku. Apa ceritamu?
Bernadeta Anjani Tyas Budhayastri
Label: Indonesia, Tradisi